Selasa, 18 Maret 2008

Goa Arupalaka

Goa Arupalaka di Benteng Keraton Kesultanan Buton

JEJAK Arupalaka mudah dilacak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, tepatnya di benteng Keraton Kesultanan Buton yang terletak sekitar tiga kilometer selatan Kota Bau-Bau. Dalam sejarah Kesultanan Buton disebutkan, Raja Bone itu pernah menyelamatkan diri ke Buton dari kejaran Sultan Hasanuddin, Raja Gowa.

SALAH SATU jejak sejarah kompleks keraton itu adalah sebuah goa kecil (ceruk) yang terletak dinding tebing sebelah timur benteng keraton. Goa ini menyimpan cerita bahwa Arupalaka pernah bersembunyi di dalamnya tatkala pasukan Sultan Hasanuddin telah menguasai jantung pertahanan Kesultanan Buton.

Bagi tentara Makassar (Gowa), tidak mudah menemukan goa tersebut. Sebab, lokasinya secara alami memang sangat taktis dan penuh kamuflase. Goa Arupalaka seolah menggantung di dinding tebing yang menjadi batas alam benteng Keraton Buton. Bila berdiri di tepi batas alam itu, goa berada di bawah telapak kaki kita.

Konon, dari tepi atas benteng itu Sapati Baluwu bisa menyampaikan suatu informasi penting kepada Arupalaka yang berada di dalam goa. Dan, sang pelarian cukup memasang telinga lebar-lebar tanpa harus memunculkan kepalanya ke tepi "lantai" benteng untuk mendengarkan apa yang disampaikan Sapati Baluwu. Sapati adalah sebuah jabatan kesultanan yang membantu Sultan Buton untuk menangani urusan dalam negeri Kesultanan Buton.

Dalam keadaan normal, goa kecil itu amat sulit dimasuki dari atas tepi jurang tadi. Untuk mencapai tempat persembunyian musuh Sultan Hasanuddin itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bau-Bau telah membangun jalan setapak dari beton. Jalan setapak itu berlokasi di sisi luar benteng menuju arah selatan. Konon, alur jalan setapak inilah yang ditempuh Arupalaka tatkala hendak berlindung di goa tersebut.

Jalan sepanjang kurang lebih 600 meter itu kemudian mentok di sebuah sudut dinding tebing yang sangat terjal. Pintu goa terletak sekitar dua meter di atas ujung jalan setapak sehingga untuk masuk ke dalam goa tentu saja terlebih dulu kita harus memanjat tebing.

Dari bawah terlihat mulut Goa Arupalaka itu bergaris tengah hanya sekitar empat meter (horizontal) dan tinggi (garis vertikal) sekitar tiga meter. Tidak ada yang istimewa pada ceruk tersebut, kecuali lumut dan rumput yang tumbuh secara alami.

Seperti dikatakan La Ode Hafilu dari Dinas Pariwisata Bau-Bau, pihaknya tidak akan membangun tangga ke mulut goa. Bagi pengunjung yang berminat melihat ruang dalam goa, dianjurkan untuk memanjat sendiri seperti halnya yang telah dilakukan Arupalaka lebih dari 300 tahun yang lalu.

BAGI masyarakat Buton, terutama di kalangan bangsawan dan keturunan pejabat kesultanan yang tinggal di sekitar keraton, kedatangan Arupalaka ke Buton tidak sekadar mencari dukungan dalam membendung gerakan ekspansif Sultan Hasanuddin yang ingin menguasai seluruh kerajaan kecil di Sulawesi-termasuk Kesultanan Buton dan Kepulauan Nusa Tenggara- tetapi juga dalam rangka kunjungan kekeluargaan.

Menurut tradisi lisan, dalam darah Arupalaka mengalir darah Buton. Bahkan, bangsawan Bone ini dikatakan masih sepupu satu kali dengan Sapati Baluwu, pejabat kesultanan yang mengamankan Arupalaka ke goa kecil tadi. Di Buton, Arupalaka dikenal bernama Latoondu. Karena itu, goa tempat persembunyiannya disebut Liana Latoondu.

Selain itu, sebagaimana dituturkan Hazirun Kudus, warga Keraton Buton, Latoondu juga pernah diangkat sebagai Lakina Holimombo. Pemberian jabatan itu sekadar untuk menghormati kehadiran Arupalaka di Tanah Buton. Dalam struktur Kesultanan Buton, jabatan lakina merupakan pemimpin sebuah daerah yang terdiri atas beberapa wilayah kecil atau kampung.

Bagi Pemkot Bau-Bau, jejak Arupalaka di kompleks keraton merupakan aset budaya dan sejarah yang harus dilestarikan dalam rangka pengembangan industri pariwisata. "Semua peninggalan sejarah di keraton, kita upayakan tetap terpelihara. Pemeliharaan yang membutuhkan dana besar, seperti pemugaran benteng, tentu kita harapkan bantuan pusat," kata Wali Kota Bau-Bau Amirul Tamim.

Selain diarahkan menjadi kota perdagangan dan jasa, lanjut Amirul, Bau-Bau akan terus diupayakan menjadi salah satu kota tujuan wisata di kawasan timur Indonesia. Potensi pariwisata Kota Bau-Bau bukan hanya simbol-simbol kejayaan di masa lampau berupa benteng keraton, masjid agung, atraksi budaya, dan lain-lain, tetapi juga keindahan alam kota itu yang menciptakan daya tarik tersendiri.

Pesona alam Kota Bau-Bau justru dapat dinikmati dari kompleks Keraton Buton yang lokasinya memang terletak di lereng bukit berbatu. Dari ketinggian tersebut hampir separuh wilayah fisik kota dan pelabuhan laut bisa terjangkau pandangan mata.

Hamparan perairan Teluk Bau-Bau merupakan salah satu daya pesona pemandangan alam itu. Keindahan teluk ini nyaris sempurna dengan keberadaan Pulau Makassar di tengahnya. Pulau berpenduduk sekitar 5.000 orang itu justru melengkapi sejarah kehadiran Arupalaka di Keraton Buton beberapa abad lampau.

Pulau yang luasnya 1,04 kilometer persegi itu menjadi tempat pengasingan orang- orang Makassar yang ditawan pasukan Admiral Speelman ketika membebaskan Kesultanan Buton dari penaklukan Kerajaan Gowa. Penyerangan Buton yang dipimpin langsung Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, dilakukan Maret hingga Mei 1655 karena dipicu tindakan Sultan Buton yang melindungi Arupalaka.

Kecuali Pulau Makassar, sebagian pantai daratan Buton dan Pulau Muna yang berbatu-batu juga menyuguhkan pemandangan yang memesona. Agak jauh melintasi laut biru, dari benteng keraton samar-samar tampak Pulau Kabaena yang gunungnya menjulang tinggi.

Panorama alam yang indah itu tentu saja menjadi sumber inspirasi sultan-sultan Buton di masa lalu dalam menjalankan sistem pemerintahan yang berlandaskan falsafah bolimo karo somanamo lipu (kepentingan lipu/negeri harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau kelompok).

LOKASI Goa Arupalaka dan kompleks benteng Keraton Buton berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Melai, Kecamatan Betoambari, Kota Bau-Bau. Penduduk kelurahan ini berjumlah 376 keluarga atau 1.688 jiwa. Sekitar 99 persen penduduk bermukim di dalam benteng keraton dan hidup sebagai pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI dan Polri, serta pensiunan. Sebagian besar warga keraton ini adalah keturunan sultan dan aparat perangkat Kesultanan Buton di masa lalu.

Kehidupan umumnya warga keraton itu terlihat sederhana. Sebagian besar dari 295 unit rumah tinggal masih berupa rumah panggung dengan gaya arsitektur rumah adat Buton. Konstruksi rumah kayu itu tidak menggunakan paku sebagai pengikat sambungan. Suasana pedesaan masih kental mewarnai kelurahan tersebut.

Keraton Buton hampir setiap hari didatangi pengunjung dari luar Kota Bau-Bau, baik perorangan maupun kelompok. Namun, penduduk setempat tidak merespons kedatangan pengunjung itu sebagai sumber ekonomi, misalnya dengan membuka kedai kopi atau menjual minuman segar.

Tidak ada juga oknum warga yang menjadi tukang pajak bagi setiap kendaraan yang memasuki wilayah keraton. Kendaraan umum maupun pribadi bebas keluar masuk keraton. Dengan demikian, pengunjung obyek wisata utama di Kota Bau-Bau itu merasa aman dan nyaman, tanpa terusik oleh hal-hal yang tak perlu.

Lurah Melai Abdul Salam mengatakan, pihaknya sebetulnya sering berpikir akan menarik pungutan terhadap setiap pengunjung keraton untuk kas kelurahan dan sekaligus membuka lapangan kerja. Namun, hal itu tidak pernah diwujudkan karena pengelola kompleks keraton bukan kelurahan, melainkan pemerintah kota melalui Dinas Pariwisata.

Pada waktu-waktu tertentu, di kompleks Keraton Buton berlangsung peristiwa budaya yang berkaitan dengan perayaan hari-hari besar Islam, seperti mauludhu (maulid Nabi Muhammad SAW), bacaana nisifu (membaca Surat Yasin di bulan Syakban), malona kunua (Nuzulul Quran), 1 Muharam, dan lain-lain. Semua upacara itu dilakukan masyarakat warga keraton secara berkelompok atau pribadi.

Kepala Dinas Pariwisata Bau-Bau Muh Djudul mengemukakan, pihaknya berencana mengadakan semacam festival budaya yang diikuti seluruh masyarakat Kota Bau-Bau, termasuk warga keraton sendiri. Festival itu kemungkinan dilaksanakan mulai Agustus tahun ini dalam rangka merayakan hari Kemerdekaan RI.

Salah satu atraksi budaya yang akan ditampilkan dalam festival itu adalah pesta rakyat pekandekandea. Warga yang menjadi peserta membawa talam besar berisi aneka ragam makanan tradisional Buton. Sebagai kelaziman, pengunjung pesta harus mencicipi isi talam tersebut, lalu memberikan tip uang kepada pemilik talam yang biasanya diperankan oleh gadis pilihan.

Beberapa tahun lalu ketika Kabupaten Buton masih utuh dan Bau-Bau masih berstatus kota administratif, Pemerintah Daerah Buton setiap tanggal 12-13 September menyelenggarakan Festival Keraton Buton (Palace Festival) yang digelar di keraton tersebut. Setelah Saidoe mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Buton, kegiatan yang menyedot perhatian masyarakat itu terhenti dengan sendirinya.

Wilayah Buton saat ini telah dipenggal-penggal menjadi empat daerah otonom, yaitu Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Bombana. Wilayah Kabupaten Buton praktis tinggal sebagian kecil daratan pulau penghasil aspal alam itu.

Eks wilayah Buton yang diharapkan mampu berfungsi sebagai lokomotif pembangunan di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara itu adalah Kota Bau-Bau. Kota tua ini merupakan pelabuhan transit bagi semua kapal penumpang milik PT Pelni yang beroperasi di kawasan timur Indonesia.

Kota Bau-Bau juga sudah memiliki Bandar Udara Betoambari yang pada tahap permulaan pengoperasiannya baru didatangi pesawat jenis Fokker-50 (50 tempat duduk) dua kali seminggu. Rute penerbangannya adalah Makassar- Bau-Bau. Rute ini ditempuh sekitar 50 menit. (YAMIN INDAS)

Tidak ada komentar: