Jumat, 21 Maret 2008

sekilas tentang asal mula nama buton

ASAL MULA NEGERI BUTON


Tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.

Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton. Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja. Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M. Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Namun dari sebuah kitab sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk b. Kerajaan Buton dan Islam Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.____Foto Meriam Benteng Wolio

2. Silsilah Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja: 1. Rajaputri Wa Kaa Kaa 2. Rajaputri Bulawambona 3. Raja Bataraguru 4. Raja Tuarade 5. Rajamulae 6. Raja Murhum Sultan-sultan: 1. Sultan Murhum (1491-1537 M) 2. Sultan La Tumparasi (1545-1552) 3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M) 4. Sultan La Elangi (1578-1615 M) 5. Sultan La Balawo (1617-1619) 6. Sultan La Buke (1632-1645) 7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M) 8. Sultan La Cila (1647-1654 M) 9. Sultan La Awu (1654-1664 M) 10. Sultan La Simbata (1664-1669 M) 11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M) 12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M) 13. Sultan La Umati (1689-1697 M) 14. Sultan La Dini (1697-1702 M) 15. Sultan La Rabaenga (1702 M) 16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M) 17. Sultan La Ibi (1709-1711 M) 18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M) 19. Sultan Langkariri (1712-1750 M) 20. Sultan La Karambau (1750-1752 M) 21. Sultan Hamim (1752-1759 M) 22. Sultan La Seha (1759-1760 M) 23. Sultan La Karambau (1760-1763 M) 24. Sultan La Jampi (1763-1788 M) 25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M) 26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M) 27. Sultan La Badaru (1799-1823 M) 28. Sultan La Dani (1823-1824 M) 29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M) 30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M) 31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M) 32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M) 33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M) 34. Sultan Muh. Husain (1914 M) 35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M) 36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M) 37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M) 38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M). 3. Periode Pemerintahan Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. 4. Wilayah Kekuasaan Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi. 5. Struktur Pemerintahan Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan. 6. Kehidupan Sosial Budaya Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati). Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama) Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai. Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah Kesultanan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.

awal kesultanan buton

Awal Kesultanan Buton


Kerajaan Buton secara rasminya menjadi sebuah kerajaan Islam
pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan
atau Lakilapotan atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh
Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari
Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal
di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa
Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah ke Pulau
Batu Atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Di Pulau Batu Atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku
menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja
Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu.
Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung dinobatkan
menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

Kendati demikian. pada waktu itu, masih dipertikaikan
kerana dari sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul
Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan
Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus
iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri
Agama Islam.

Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan
Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi
guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo
setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.

Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional
IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja
membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La
Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya
adalah sebagai berikut:


1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933
H/1526 M.

2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948
H/1541 M.

3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun
948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika
itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana
Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai
Sultan Buton pertama.


Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti
Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa
Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam
lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam
bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki
Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan
syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan
tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang
disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948
H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton
lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah
meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di
Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang
diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.

Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang
menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di
Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan
lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai
Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama
itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya
sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum,
sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit
Murhum.

Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat
seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu.
Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini
secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara
Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para
penyelidik.

Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang
menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup
terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di
Ternate.Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada
yang bercorak Islam mau pun sekular, terdapat perbedaan yang
sangat mencolok dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton
berdasarkan Martabat Tujuh. Dari kenyataan ini dapat diambil
kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran
tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun
ajaran syariat tidak diabaikan.

Semua perundang-undangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf
Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu
menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa
tersebut selain digunakan untuk perundang-undangan, juga digunakan dalam
penulisan silsilah kesultanan, naskhah-naskah dan lain sebagainya.
Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan
Indonesia 1945. Namun masyarakat buton utamnya yang bertempat tinggal dalam wilyah keraton dan yang masih merupakan keturunan para raja dan sultan buton terus memegang teguh silsila dan perundang-undangan tersebut.

sekilas tentang asal mula nama buton

Asal Mula Negeri Buton (BUTUNI)


Tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.

Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton. Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja. Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M. Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Namun dari sebuah kitab sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk b. Kerajaan Buton dan Islam Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.


2. Silsilah Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja: 1. Rajaputri Wa Kaa Kaa 2. Rajaputri Bulawambona 3. Raja Bataraguru 4. Raja Tuarade 5. Rajamulae 6. Raja Murhum Sultan-sultan: 1. Sultan Murhum (1491-1537 M) 2. Sultan La Tumparasi (1545-1552) 3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M) 4. Sultan La Elangi (1578-1615 M) 5. Sultan La Balawo (1617-1619) 6. Sultan La Buke (1632-1645) 7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M) 8. Sultan La Cila (1647-1654 M) 9. Sultan La Awu (1654-1664 M) 10. Sultan La Simbata (1664-1669 M) 11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M) 12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M) 13. Sultan La Umati (1689-1697 M) 14. Sultan La Dini (1697-1702 M) 15. Sultan La Rabaenga (1702 M) 16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M) 17. Sultan La Ibi (1709-1711 M) 18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M) 19. Sultan Langkariri (1712-1750 M) 20. Sultan La Karambau (1750-1752 M) 21. Sultan Hamim (1752-1759 M) 22. Sultan La Seha (1759-1760 M) 23. Sultan La Karambau (1760-1763 M) 24. Sultan La Jampi (1763-1788 M) 25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M) 26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M) 27. Sultan La Badaru (1799-1823 M) 28. Sultan La Dani (1823-1824 M) 29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M) 30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M) 31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M) 32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M) 33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M) 34. Sultan Muh. Husain (1914 M) 35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M) 36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M) 37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M) 38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M). 3. Periode Pemerintahan Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. 4. Wilayah Kekuasaan Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi. 5. Struktur Pemerintahan Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan. 6. Kehidupan Sosial Budaya Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati). Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama) Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai. Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah Kesultanan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.

Selasa, 18 Maret 2008

Goa Arupalaka

Goa Arupalaka di Benteng Keraton Kesultanan Buton

JEJAK Arupalaka mudah dilacak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, tepatnya di benteng Keraton Kesultanan Buton yang terletak sekitar tiga kilometer selatan Kota Bau-Bau. Dalam sejarah Kesultanan Buton disebutkan, Raja Bone itu pernah menyelamatkan diri ke Buton dari kejaran Sultan Hasanuddin, Raja Gowa.

SALAH SATU jejak sejarah kompleks keraton itu adalah sebuah goa kecil (ceruk) yang terletak dinding tebing sebelah timur benteng keraton. Goa ini menyimpan cerita bahwa Arupalaka pernah bersembunyi di dalamnya tatkala pasukan Sultan Hasanuddin telah menguasai jantung pertahanan Kesultanan Buton.

Bagi tentara Makassar (Gowa), tidak mudah menemukan goa tersebut. Sebab, lokasinya secara alami memang sangat taktis dan penuh kamuflase. Goa Arupalaka seolah menggantung di dinding tebing yang menjadi batas alam benteng Keraton Buton. Bila berdiri di tepi batas alam itu, goa berada di bawah telapak kaki kita.

Konon, dari tepi atas benteng itu Sapati Baluwu bisa menyampaikan suatu informasi penting kepada Arupalaka yang berada di dalam goa. Dan, sang pelarian cukup memasang telinga lebar-lebar tanpa harus memunculkan kepalanya ke tepi "lantai" benteng untuk mendengarkan apa yang disampaikan Sapati Baluwu. Sapati adalah sebuah jabatan kesultanan yang membantu Sultan Buton untuk menangani urusan dalam negeri Kesultanan Buton.

Dalam keadaan normal, goa kecil itu amat sulit dimasuki dari atas tepi jurang tadi. Untuk mencapai tempat persembunyian musuh Sultan Hasanuddin itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bau-Bau telah membangun jalan setapak dari beton. Jalan setapak itu berlokasi di sisi luar benteng menuju arah selatan. Konon, alur jalan setapak inilah yang ditempuh Arupalaka tatkala hendak berlindung di goa tersebut.

Jalan sepanjang kurang lebih 600 meter itu kemudian mentok di sebuah sudut dinding tebing yang sangat terjal. Pintu goa terletak sekitar dua meter di atas ujung jalan setapak sehingga untuk masuk ke dalam goa tentu saja terlebih dulu kita harus memanjat tebing.

Dari bawah terlihat mulut Goa Arupalaka itu bergaris tengah hanya sekitar empat meter (horizontal) dan tinggi (garis vertikal) sekitar tiga meter. Tidak ada yang istimewa pada ceruk tersebut, kecuali lumut dan rumput yang tumbuh secara alami.

Seperti dikatakan La Ode Hafilu dari Dinas Pariwisata Bau-Bau, pihaknya tidak akan membangun tangga ke mulut goa. Bagi pengunjung yang berminat melihat ruang dalam goa, dianjurkan untuk memanjat sendiri seperti halnya yang telah dilakukan Arupalaka lebih dari 300 tahun yang lalu.

BAGI masyarakat Buton, terutama di kalangan bangsawan dan keturunan pejabat kesultanan yang tinggal di sekitar keraton, kedatangan Arupalaka ke Buton tidak sekadar mencari dukungan dalam membendung gerakan ekspansif Sultan Hasanuddin yang ingin menguasai seluruh kerajaan kecil di Sulawesi-termasuk Kesultanan Buton dan Kepulauan Nusa Tenggara- tetapi juga dalam rangka kunjungan kekeluargaan.

Menurut tradisi lisan, dalam darah Arupalaka mengalir darah Buton. Bahkan, bangsawan Bone ini dikatakan masih sepupu satu kali dengan Sapati Baluwu, pejabat kesultanan yang mengamankan Arupalaka ke goa kecil tadi. Di Buton, Arupalaka dikenal bernama Latoondu. Karena itu, goa tempat persembunyiannya disebut Liana Latoondu.

Selain itu, sebagaimana dituturkan Hazirun Kudus, warga Keraton Buton, Latoondu juga pernah diangkat sebagai Lakina Holimombo. Pemberian jabatan itu sekadar untuk menghormati kehadiran Arupalaka di Tanah Buton. Dalam struktur Kesultanan Buton, jabatan lakina merupakan pemimpin sebuah daerah yang terdiri atas beberapa wilayah kecil atau kampung.

Bagi Pemkot Bau-Bau, jejak Arupalaka di kompleks keraton merupakan aset budaya dan sejarah yang harus dilestarikan dalam rangka pengembangan industri pariwisata. "Semua peninggalan sejarah di keraton, kita upayakan tetap terpelihara. Pemeliharaan yang membutuhkan dana besar, seperti pemugaran benteng, tentu kita harapkan bantuan pusat," kata Wali Kota Bau-Bau Amirul Tamim.

Selain diarahkan menjadi kota perdagangan dan jasa, lanjut Amirul, Bau-Bau akan terus diupayakan menjadi salah satu kota tujuan wisata di kawasan timur Indonesia. Potensi pariwisata Kota Bau-Bau bukan hanya simbol-simbol kejayaan di masa lampau berupa benteng keraton, masjid agung, atraksi budaya, dan lain-lain, tetapi juga keindahan alam kota itu yang menciptakan daya tarik tersendiri.

Pesona alam Kota Bau-Bau justru dapat dinikmati dari kompleks Keraton Buton yang lokasinya memang terletak di lereng bukit berbatu. Dari ketinggian tersebut hampir separuh wilayah fisik kota dan pelabuhan laut bisa terjangkau pandangan mata.

Hamparan perairan Teluk Bau-Bau merupakan salah satu daya pesona pemandangan alam itu. Keindahan teluk ini nyaris sempurna dengan keberadaan Pulau Makassar di tengahnya. Pulau berpenduduk sekitar 5.000 orang itu justru melengkapi sejarah kehadiran Arupalaka di Keraton Buton beberapa abad lampau.

Pulau yang luasnya 1,04 kilometer persegi itu menjadi tempat pengasingan orang- orang Makassar yang ditawan pasukan Admiral Speelman ketika membebaskan Kesultanan Buton dari penaklukan Kerajaan Gowa. Penyerangan Buton yang dipimpin langsung Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, dilakukan Maret hingga Mei 1655 karena dipicu tindakan Sultan Buton yang melindungi Arupalaka.

Kecuali Pulau Makassar, sebagian pantai daratan Buton dan Pulau Muna yang berbatu-batu juga menyuguhkan pemandangan yang memesona. Agak jauh melintasi laut biru, dari benteng keraton samar-samar tampak Pulau Kabaena yang gunungnya menjulang tinggi.

Panorama alam yang indah itu tentu saja menjadi sumber inspirasi sultan-sultan Buton di masa lalu dalam menjalankan sistem pemerintahan yang berlandaskan falsafah bolimo karo somanamo lipu (kepentingan lipu/negeri harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau kelompok).

LOKASI Goa Arupalaka dan kompleks benteng Keraton Buton berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Melai, Kecamatan Betoambari, Kota Bau-Bau. Penduduk kelurahan ini berjumlah 376 keluarga atau 1.688 jiwa. Sekitar 99 persen penduduk bermukim di dalam benteng keraton dan hidup sebagai pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI dan Polri, serta pensiunan. Sebagian besar warga keraton ini adalah keturunan sultan dan aparat perangkat Kesultanan Buton di masa lalu.

Kehidupan umumnya warga keraton itu terlihat sederhana. Sebagian besar dari 295 unit rumah tinggal masih berupa rumah panggung dengan gaya arsitektur rumah adat Buton. Konstruksi rumah kayu itu tidak menggunakan paku sebagai pengikat sambungan. Suasana pedesaan masih kental mewarnai kelurahan tersebut.

Keraton Buton hampir setiap hari didatangi pengunjung dari luar Kota Bau-Bau, baik perorangan maupun kelompok. Namun, penduduk setempat tidak merespons kedatangan pengunjung itu sebagai sumber ekonomi, misalnya dengan membuka kedai kopi atau menjual minuman segar.

Tidak ada juga oknum warga yang menjadi tukang pajak bagi setiap kendaraan yang memasuki wilayah keraton. Kendaraan umum maupun pribadi bebas keluar masuk keraton. Dengan demikian, pengunjung obyek wisata utama di Kota Bau-Bau itu merasa aman dan nyaman, tanpa terusik oleh hal-hal yang tak perlu.

Lurah Melai Abdul Salam mengatakan, pihaknya sebetulnya sering berpikir akan menarik pungutan terhadap setiap pengunjung keraton untuk kas kelurahan dan sekaligus membuka lapangan kerja. Namun, hal itu tidak pernah diwujudkan karena pengelola kompleks keraton bukan kelurahan, melainkan pemerintah kota melalui Dinas Pariwisata.

Pada waktu-waktu tertentu, di kompleks Keraton Buton berlangsung peristiwa budaya yang berkaitan dengan perayaan hari-hari besar Islam, seperti mauludhu (maulid Nabi Muhammad SAW), bacaana nisifu (membaca Surat Yasin di bulan Syakban), malona kunua (Nuzulul Quran), 1 Muharam, dan lain-lain. Semua upacara itu dilakukan masyarakat warga keraton secara berkelompok atau pribadi.

Kepala Dinas Pariwisata Bau-Bau Muh Djudul mengemukakan, pihaknya berencana mengadakan semacam festival budaya yang diikuti seluruh masyarakat Kota Bau-Bau, termasuk warga keraton sendiri. Festival itu kemungkinan dilaksanakan mulai Agustus tahun ini dalam rangka merayakan hari Kemerdekaan RI.

Salah satu atraksi budaya yang akan ditampilkan dalam festival itu adalah pesta rakyat pekandekandea. Warga yang menjadi peserta membawa talam besar berisi aneka ragam makanan tradisional Buton. Sebagai kelaziman, pengunjung pesta harus mencicipi isi talam tersebut, lalu memberikan tip uang kepada pemilik talam yang biasanya diperankan oleh gadis pilihan.

Beberapa tahun lalu ketika Kabupaten Buton masih utuh dan Bau-Bau masih berstatus kota administratif, Pemerintah Daerah Buton setiap tanggal 12-13 September menyelenggarakan Festival Keraton Buton (Palace Festival) yang digelar di keraton tersebut. Setelah Saidoe mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Buton, kegiatan yang menyedot perhatian masyarakat itu terhenti dengan sendirinya.

Wilayah Buton saat ini telah dipenggal-penggal menjadi empat daerah otonom, yaitu Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Bombana. Wilayah Kabupaten Buton praktis tinggal sebagian kecil daratan pulau penghasil aspal alam itu.

Eks wilayah Buton yang diharapkan mampu berfungsi sebagai lokomotif pembangunan di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara itu adalah Kota Bau-Bau. Kota tua ini merupakan pelabuhan transit bagi semua kapal penumpang milik PT Pelni yang beroperasi di kawasan timur Indonesia.

Kota Bau-Bau juga sudah memiliki Bandar Udara Betoambari yang pada tahap permulaan pengoperasiannya baru didatangi pesawat jenis Fokker-50 (50 tempat duduk) dua kali seminggu. Rute penerbangannya adalah Makassar- Bau-Bau. Rute ini ditempuh sekitar 50 menit. (YAMIN INDAS)

Kampua Buton

KAMPUA BUTON

Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu2nya yang pernah beredar di Indonesia.Menurut cerita rakyat Buton,Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
Pada jaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat,yaitu Sultan Dayan Ihsanudin (La’ Elangi),sekitar tahun 1597-1631 perdagangan di kerajaan Buton mengalami masa kejaan. Para pedagang dari daerah2 lain,termasuk pedagang2 dari Cina dan Portugis datang dengan kapal2nya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua,maka sebelumnya para pedagang tersebut harusmenukarkan uang uang mereka dengan uang Kampua. Penukaran dilakukan kepada Money Changer yang banyak terdapat di pelabuhan,ataupun di lokasi2 perdagangan. Setelah selesai berdagang,mereka boleh menukarkan sisa uang Kampua yang dimilikinya dengan mata uang yang diinginkan. Namun tentunya ada juga pedagang2 yang tidak menukarkan,tetapi menyimpan Kampua itu sebagai kenang-kenangan”Uang aneh” dari Buton.
Dalam proses pembuatan dan pered aran uang Kampua inimandat sepenuhnya diserahkan kepada Mentri Besar atau yang disebut “Bonto Ogena”.Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua,baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Penghitungan mengenai situasi dan kondisi wilayah serta jumlah perkembangan penduduk yang ada,perlu diperhitungkan agar jumlah peredaran Kampua tetap dapat terkontrol dan tidak menimbulkan inflasi. Pengawasan oleh BontoOgena juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan2,sehingga hampir setiap tahunya motif dan corak Kapua akan selaludirubah-rubah.
Setelah kain2-kain selesai ditenun,kemudian untuk dipotong2 untuk menjadi uangKampua. Pemotongan lembar kain menjadi Kampua itu juga ada prosedurnya yang juga ditentukan oleh Mentri Besar. Cara pemotonganya adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua,dengan cara : Ukuran empat jari untuk lebarnya,dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan,untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Mentri Besar atau “Bonto Ogena” itu sendiri! Oleh karenanya ukuran lebar dan panjang Kampua yangdiproduksi tidak selalu sama,tergantung dari panjang pendeknya ukuran tangan Mentri Besar yang saat itu berkuasa. Jika nantinya yang menjadi Mentri Besar mempunyai tangan yang pendek,maka ukuran Kampua akan menjadi pendek pula. Sebaliknya jika “Bonto Ogena” mempunyai tangan yang lebih panjang,maka hasil jadi Kampua akan menjadi lebih panjang,sesuai dengan ukuran tanganya.
Pada awal pembuatanya,standard yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu “bida” (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun dalam perkembangan selanjutnya,standard ini diganti dengan nilai “Boka”,dimana satu Bida sama dengan 30 Boka. Ka adalah suatu standard nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton,yang biasanya digunakan pada waktu upacara2 adat perkawinan,kematian,dan sejenisnya.
Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira2 tahun 1851,fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang2 buatan “Kompeni”. Sampai akhirnya nilai Kampua menjadi sangat tidak berarti,dimana pada waktu itu nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga,atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja!. Walaupun demikian Kampua tetap digunakan pada desa2 tertentu diKepulauan Buton sampai dengan tahun 1940.
Sejarah Singkat pulau Buton (Wolio)


Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada jaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.

Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.


Sejarah Awal

Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

Bidang Politik

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Bidang Hukum

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara digogoli (leher dililit dengan tali sampai meninggal).

Bidang Perekonomian

Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Bidang Pertahanan

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau-Bau.